MODEL PEMBELAJARAN KOLABORATIF
1.
Pengertian
Model Pembelajaran Kolaboratif
Pembelajaran
kolaboratif didefenisikan sebagai falsafah tentang tanggung jawab pribadi dan
sikap menghormati sesama. Para pelajar bertanggung jawab atas belajar mereka
sendiri dan berusaha menemukan informasi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang dihadapkan pada mereka. Guru bertindak sebagai fasilitator, memberikan
dukungan tetapi tidak menyetir kelompok kearah hasil yang sudah disiapkan sebelumnya.
Menurut
Deutch dalam Mahmudi (2006:61), pembelajaran kolaboratif adalah pembelajaran
yang menggunakan kelompok-kelompok kecil siswa yang bekerja sama untuk
memaksimalkan hasil belajar mereka. Lebih khusus, Gokhale (1995) mendefinisikan
pembelajaran kolaboratif sebagai pembelajaran yang menempatkan siswa dengan
latar belakang dan kemampuan yang beragam bekerja bersama dalam suatu kelompok
kecil untuk mencapai tujuan akademik bersama. Setiap siswa dalam suatu kelompok
bertanggung jawab terhadap sesama anggota kelompok. Dalam pembelajaran
kolaboratif, siswa berbagi peran, tugas, dan tanggung jawab guna mencapai
kesuksesan bersama.
Pengertian
pembelajaran kolaboratif sering disamakan dengan pembelajaran kooperatif, meski ada juga yang membedakannya.
Misalnya, Panitz (1996) mendefinisikan pembelajaran
kooperatif sebagai sekumpulan proses yang dilakuan guru untuk membantu siswa agar dapat berinteraksi sesamanya untuk
mencapai tujuan spesifik tertentu. Hal ini lebih menempatkan guru sebagai pengarah dan
mengontrol pembelajaran daripada memberikan
kesempatan kepada siswa untuk berkolaborasi (Mahmudi,2006:62)
2. Langkah-Langkah
Pembelajaran Kolaboratif
Berikut ini langkah-langkah pembelajaran kolaboratif:
1. Para siswa dalam kelompok menetapkan tujuan belajar dan membagi tugas sendiri-sendiri.
2. Semua siswa dalam kelompok membaca, berdiskusi, dan menulis.
3. Kelompok kolaboratif bekerja secara bersinergi mengidentifikasi,
mendemontrasikan, meneliti, menganalisis, dan memformulasikan jawaban-jawaban
tugas atau masalah dalam LKS atau masalah yang ditemukan sendiri.
4. Setelah kelompok kolaboratif menyepakati hasil pemecahan masalah,
masing-masing siswa menulis laporan sendiri-sendiri secara lengkap.
5. Guru menunjuk salah satu kelompok secara acak (selanjutnya diupayakan agar
semua kelompok dapat giliran ke depan) untuk melakukan presentasi hasil diskusi
kelompok kolaboratifnya di depan kelas, siswa pada kelompok lain mengamati,
mencermati, membandingkan hasil presentasi tersebut, dan menanggapi. Kegiatan
ini dilakukan selama lebih kurang 20-30 menit.
6. Masing-masing siswa dalam kelompok kolaboratif melakukan elaborasi,
inferensi, dan revisi (bila diperlukan) terhadap laporan yang akan dikumpulan.
7. Laporan masing-masing siswa terhadap tugas-tugas yang telah dikumpulkan,
disusun perkelompok kolaboratif.
8. Laporan siswa dikoreksi, dikomentari, dinilai, dikembalikan pada pertemuan
berikutnya, dan didiskusikan.
3. Karakteristik Pembelajaran Kolaboratif
Beberapa
karakteristik pembelajaran kolaboratif, yakni:
1. Ketergantungan
positif
Ketergantungan yang positif
antarsiswa dalam suatu kelompok menjadi prasyarat terjadinya kerja sama yang
positif. Ketergantungan positif akan terjadi jika setiap anggota kelompok
menyadari bahwa seseorang tidak dapat berhasil tanpa melibatkan keberhasilan
anggota lainnya.
2. Interaksi
Interaksi antaranggota kelompok
menjadi demikian penting karena terdapat aktivitasaktivitas kognitif penting
dan kecakapan interpersonal yang dinamis hanya terjadi jika terdapat interaksi
yang dinamis. Aktivitas kognitif dan kecakapan interpersonal yang dinamis itu
dapat dicapai melalui berbagai aktivitas seperti mempresentasikan hasil
diskusi, berbagi pengetahuan dengan anggota kelompok lain, dan mengecek
pemahaman. Adanya interaksi antaranggota kelompok memungkinkan terwujudnya
sistem dukungan akademik, yakni setiap anggota mepunyai komitmen untuk membantu
anggota kelompok lain.
3. Pertanggungjawaban
individu dan kelompok
Dalam pembelajaran kolaboratif, tidak hanya keberhasilan kelompok saja yang
menjadi perhatian, namun keberhasilan
setiap anggota kelompok sangat dipentingkan. Pembelajaran kolaboratif juga
dimaksudkan untuk membuat siswa kuat secara individual. Kelompok harus
bertanggung jawab dalam hal pencapaian tujuan dan masing-masing anggota kelompok
harus bertanggungjawab terhadap kontribusinya dalam kelompok.
Pertanggungjawaban individu hanya akan terjadi jika kinerja tiap individu
dinilai dan hasilnya diberikan kembali ke kelompok dan individu yang
bersangkutan guna memastikan anggota yang memerlukan bantuan, dukungan, atau
penguatan belajar.
4. Pengembangan
kecakapan interpersonal
Perlu disadari bahwa kecakapan
sosial tidak secara spontan tampak ketika pembelajaran kolaboratif
dilaksanakan. Kecakapan sosial seperti kepemimpinan (leadership), kemampuan
membuat keputusan, membangun kepercayaan, berkomunikasi, dan managemen konflik
diharapkan dapat terbetuk melalui pembelajaran kolaboratif yang kontinu dan
berkesinambungan.
5. Pembentukan
kelompok heterogen
Pembentukan kelompok dilakukan
dengan mempertimbangkan agar setiap anggota dapat berdiskusi sehingga mencapai
tujuan mereka dan membangun hubungan kerja yang efektif. Dalam pembentukan
kelompok perlu dideskripsikan tugas setiap anggota kelompok. Terdapat beberapa
prinsip dalam pembentukan kelompok kolaboratif, di antaranya perlunya
mengakomodasi heterogenitas siswa, seperti mengkombinasikan siswa yang pendiam
dengan siswa yang relatif mudah berkomunikasi, siswa yang rendah diri dan
optimistis, siswa yang mempunyai motivasi tinggi dan rendah diri.
6. Berbagi
pengetahuan antara guru dan siswa
Pada pembelajaran tradisional,
diyakini pengetahuan mengalir hanya dari guru ke
siswa. Tidak demikian halnya pada pembelajaran
kolaboratif. Dalam pembelajaran
kolaboratif, guru menghargai dan
mengembangkan pembelajaran berdasarkan pengetahuan, pengalaman pribadi,
strategi, dan budaya yang dibawa siswa.
7. Berbagi
otoritas antara guru dan siswa
Pada pembelajaran tradisional,
menetapkan tujuan pembelajaran, mendesain tugastugas belajar, dan menilai
(mengevaluasi) apa yang telah dipelajari siswa menjadi otoritas guru secara
dominan. Tidak demikian halnya pada pembelajaran kolaboratif. Dalam kelas
kolaboratif, guru berbagi oritas dengan siswa dengan cara yang spesifik. Guru
melibatkan siswa secara aktif dalam penetapan tujuan belajar, pendesaian
tugas-tugas, dan evaluasi ketercapaian tujuan belajar.
8. Guru sebagai
mediator
Dalam pembelajaran kolaboratif, guru
berperan sebagai mediator. Dalam hal ini guru
membantu siswa untuk menghubungkan
pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa, membantu siswa
menggambarkan mengenai apa yang harus dikerjakan ketika mereka mengalami
masalah, dan membantu siswa belajar bagaimana belajar (learn how to learn).
4. Evaluasi Pembelajaran Kolaboratif
Tidak mudah
untuk mengevaluasi pembelajaran kolaboratif. Evaluasi dapat dilakukan terhadap banyak aspek, tidak hanya pada hasil
belajar kognitif. Sebagai contoh, evaluasi dapat dilakukan terhadap kemampuan siswa
berdikusi. Karena memiliki keterbatasan pengamatan,
guru dapat memilih peer evaluation (penilaian teman sebaya). Setiap siswa harus menilai teman sekelomponya terhadap
beberapa aspek.
5. Kelebihan dan Kekurangan Model
Kolaboratif
a.
Kelebihan
Ada banyak keunggulan yang bisa
didapat dengan collaborative learning oleh siswa antara lain:
1) melatih rasa peduli, perhatian dan
kerelaan untuk berbagi,
2) meningkatkan rasa penghargaan
terhadap orang lain,
3) melatih kecerdasan emosional,
4) mengutamakan kepentingan kelompok
dibandingkan kepentingan pribadi,
5) mengasah kecerdasan interpersonal,
6) melatih kemampuan bekerja sama, team
work,
7) murid tidak malu bertanya kepada
temannya sendiri,
8) meningkatkan motivasi dan suasana
belajar.
b.
Kelemahan
Kelemahan yang dalam collaborative learning:
1.
Murid yang lebih pintar, bila belum mengerti tujuan yang sesungguhnya dari
proses belajar ini, akan merasa sangat dirugikan karena harus repot-repot
membantu temannya.
2.
Murid ini juga akan merasa keberatan karena nilai yang ia peroleh ditentukan
oleh prestasi atau pencapaian kelompoknya.
3.
Bila kerja sama tidak dapat dijalankan dengan baik, maka yang akan bekerja
hanyalah beberapa murid yang pintar dan aktif saja.
MODEL
PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
1. Pengertian Pembelajaran Kontekstual
(CTL : Contextual
Teaching and Learning)
Pembelajaran kontekstual merupakan
pembelajaran yang mengkaitkan materi pembelajaran dengan konteks dunia nyata
yang dihadapi siswa sehari-hari baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat,
alam sekitar dan dunia kerja, sehingga siswa mampu membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran
Konstekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang
membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia
nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan
melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni : konstruktivisme
(Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat
belajar (Learning Conzmunity), pemodelan (Modeling), refleksi (reflection), dan
penilaian sebenarnya (Aunthentic Assesment) (Darmadi, 2017:341)
Sistem pembelajaran kontekstual adalah proses
pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam materi akademik
yang mereka pelajari dengan jalan menghubungkan mata pelajaran dengan akademik
dengan isi kehidupan sehari-hari, yaitu dengan konteks kehidupan pribadi,
sosial dan budaya. Pembelajaran kontekstual sebagai suatu model pembelajaran
yang memberikan fasilitas kegiatan belajar siswa untuk mencari, mengolah,dan
menemukan pengalaman belajar yang bersifat konkret melalui keterlibatan
aktivitas siswa dalam mencoba, melakukan, dan mengalami sendiri. Dengan
demikian, pembelajaran tidak sekedar dilihat dari sisi produk, akan tetapi yang
terpenting adalah proses (Rusman, 2017:322).
Beberapa
karakteristik Pembelajaran Berbasis Contextual Teaching and Learning
(Sihono,200:80);
a.
Kerjasama
b.
Saling menunjang
c.
Menyenangkan, tidak membosankan
d.
Belajar dengan gairah
e.
Pembelajaran terintegrasi
f.
Menggunakan berbagai sumber
g.
Siswa aktif
h.
Sharing dengan teman
i.
Siswa Kritis, dan Guru Kreatif
j. Dinding kelas & lorong-lorong
penuh dengan hasil karya siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor, dan lain
sebagainya
k.
Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor, tetapi hasil karya siswa, laporan hasil
praktikum, karangan siswa, dan sebagainya.
2.
Komponen
Pembelajaran Kontekstual
Ada
tujuh komponen utama dalam pembelajaran kontekstual, yaitu:
a.
Constructivism
(Konstruktivisme)
Kontrukstivisme
merupakan landasan berpikir pendekatan CTL, yaitu pengetahuan dibangun
oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperkuat melalui
konteks yang terbatas (sempit) dan tidak tiba-tiba.
Dalam
konteks pembelajaran, konstruktivisme lebih menekankan pada aktivitas
siswa dalam menemukan pemahaman mereka sendiri daripada kemampuan
menghafal teori-teori yang ada dalam buku pelajaran saja. Pada umumnya
cara menerapkan komponen ini dalam pembelajaran adalah dengan merancang
pembelajaran dalam bentuk siswa bekerja, praktik mengerjakan sesuatu, berlatih
secara fisik, menulis karangan, menciptakan ide dan lain sebagainya.
b.
Inquiry (Menemukan)
Menemukan
merupakan bagian inti dari pembelajaran berbasis CTL, artinya proses
pembelajaran didasarkan pada pencapaian dan penemuan melalui proses berpikir
secara sistematis. Inkuiri merupakan proses perpindahan dari pengamatan menjadi
pemahaman, dalam proses ini siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir
kritis untuk memperoleh seperangkat pengetahuan. Untuk merealisasikan komponen
inkuiri di kelas, terutama dalam proses perencanaan guru bukanlah mempersiapkan
sejumlah materi yang harus dihafal siswa, akan tetapi merancang pembelajaran
yang memungkinkan siswa dapat menemukan sendiri materi yang harus dipahaminya.
Siklus inkuiri pada umumnya meliputi: observasi (observation), bertanya (questioning), mengajukan dugaan (hypothesis), pengumpulan data (collecting data), dan penyimpulan (conclusion).
c.
Questioning (Bertanya)
Semua
ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya. Salah
satu faktor psikologi yang mendorong seseorang untuk belajar adalah adanya
sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki apa yang ada dalam kehidupan di dunia
yang lebih luas. Bertanya merupakan kegiatan yang sangat pokok dan mendasar
bagi guru maupun siswa dalam pembelajaran berbasis CTL. Bertanya merupakan
kegiatan utama dari semua aktivitas belajar, karena dengan kegiatan bertanya
guru dapat memotivasi bahkan bisa menilai sejauh mana keberanian dan kemampuan
berpikir seorang siswa dalam mengkonstruk pengetahuan dan pemahaman yang ingin
didapatkannya.
Sedangkan
bagi siswa kegiatan bertanya adalah hal penting yang perlu dilakukan dalam
pembelajaran berbasis CTL, yakni untuk menggali informasi, mengkonfirmasikan
apa yang sudah diketahui, dan me ngarahkan perhatian pada aspek yang belum
diketahuinya. Kegiatan bertanya merupakan interaksi majemuk (multiple interactions) antara guru
dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan siswa, dan antara siswa dengan
orang berpengetahuan lainnya. Aktivitas-aktivitas tesebut dapat terlihat jelas
pada saat diskusi, kegiatan dalam komunitas/masyarakat belajar, bekerja secara
berpasangan (work in pairs or in
group), dan
lain sebagainya. Dalam pembelajaran, kegiatan questioning memiliki banyak sekali kegunaan
diantarnya adalah untuk:
1)
menggali informasi, baik yang bersifat administrasi maupun akademis
2)
mengecek tingkat pemahaman siswa
3)
membangkitkan respon siswa
4)
mengukur sejauh mana rasa keingintahuan siswa
5)
mengetahui hal-hal yang belum diketahui siswa
6)
memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru
7)
memberikan stimulus agar siswa bisa memiliki pertanyaan-pertanyaan yang
kreatif, menarik dan menantang
8)
menyegarkan kembali pengetahuan siswa.
d. Learning Community/Society (Kelompok/Masyarakat
belajar)
Leo
Semenovich Vygotsky, seorang psikolog Rusia, menyatakan bahwa pengetahuan dan
pemahaman anak banyak ditopang oleh komunikasi dengan orang lain. Begitu juga
dalam kehidupan, suatu permasalahan tidak mungkin dapat dipecahkan sendiri,
tetapi membutuhkan bantuan dan peran orang lain yakni dalam bentuk kerjasama,
saling memberi dan menerima. Learning community/society adalah kelompok manusia
yang terlibat dalam kegiatan pembelajaran, yang membuat mereka bisa saling
bertukar ide dan pengetahuan untuk memperdalam pemahaman terhadap pengetahuan
yang mereka miliki. Konsep ini didasarkan pada sebuah gagasan bahwa hasil
pembelajaran yang dicapai dengan kerjasama/teamwork akan jauh lebih baik dibandingkan dengan
hasil pencapaian individu.
Hasil
belajar dalam proses learning community dapat
diperoleh dengan cara sharing antar
teman, antar kelompok; yang sudah tahu memberi tahu kepada yang belum tahu,
yang pernah memiliki pengalaman membagikan pengalamannya pada orang lain, juga
melalui informasi yang didapat di ruang kelas, luar kelas, keluarga, serta
masyarakat di lingkungan sekitar yang merupakan bagian dari komponen masyarakat
belajar.
Dalam
kelas CTL, learning community terlihat
saat siswa belajar secara berkelompok. Pada umumnya siswa dibagi dalam kelompok
yang anggotanya heterogen, baik dari segi kemampuan akademisnya, jenis kelamin,
asal daerah, dan lain sebagainya.
Model
pembelajaran dengan teknik learning community sangat membantu proses
pembelajaran di kelas. Praktiknya dalam pembelajaran terwujud dalam (Sihono,
2004:78) :
1)
pembentukan kelompok kecil
2)
pembentukan kelompok besar
3) mendatangkan ahli,
tokoh, olahragawan, dokter, perawat, petani, polisi, tukang kayu, teknisi, dan
sebagainya ke kelas
4)
bekerja dengan kelas sederajat
5)
bekerja kelompok dengan kelas di atasnya
6)
bekerja dengan masyarakat.
e. Modelling (Pemodelan)
Modelling atau pemodelan adalah
sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, dengan menyediakan
model yang bisa diamati dan ditiru oleh setiap siswa. Misalnya: guru fisika
memberikan contoh bagaimana cara mengoperasikan sebuah alat, guru bahasa
mengajarkan bagaimana cara melafalkan sebuah kalimat asing, guru olahraga
memberikan contoh bagaimana cara melempar bola, dan lain sebagianya. Dalam
kelas CTL, kegiatan modelling tidak
menjadikan guru sebagai satusatunya model dalam belajar, tetapi dapat juga
memanfaatkan siswa yang dianggap memiliki kemampuan untuk
memperagakan/mendemonstrasikan sesuatu di depan kelas kepada teman-temannya,
seorang ahli yang didatangkan di kelas, media belajar dan lain-lain.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
rumitnya permasalahan hidup yang dihadapi, tuntutan siswa yang semakin
berkembang dan beraneka ragam, telah berdampak pada kemampuan guru yang
memiliki kemampuan lengkap, dan ini yang sulit dipenuhi. Oleh karena itu, maka
kini guru bukan lagi satu-satunua sumber belajar bagi siswa, karean dengan
segala kelebihan dan keterbatasan yang dimiliki oleh guru akan mengalami
hambatan untuk memberikan pelayanan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan siswa
yang cukup heterogen. Oleh karena itu, tahap pembuatan model dapat dijadikan
alternatif untuk mengembangkan pembelajaran agar siswa bisa memenuhi harapan
siswa secara menyeluruh, dan membantu mengatasi keterbatsan yang dimiliki oleh
para guru (Rusman, 2017:328).
f.
Reflection (Refleksi)
Refleksi
berarti upaya think back (berpikir
ke belakang) atau kegiatan flash back,
yakni berpikir tentang apa yang sudah dilakukan di masa lalu, dan berpikir
tentang apa yang baru dipelajari dalam sebuah pembelajaran oleh siswa
(Risman,2017: 328). Dalam hal ini siswa mengendapkan apa yang baru
dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan
atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Dengan
kata lain, refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau
pengetahuan yang baru diterima.
g. Authentic Assessment (Penilaian
Sebenarnya)
Assessment adalah proses
pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran pengetahuan
perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui
oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan
benar. Gambaran kemajuan belajar siswa, diperlukan sepanjang proses
pembelajaran, maka penilaian autentik tidak hanya dilakukan di akhir periode
(akhir semester) tetapi dilakukan secara terintegrasi dan secara terus-menerus
selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Penilaian yang dilakukan menekankan
pada proses pembelajaran, maka data yang terkumpul harus diperoleh dari
kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran.
Menurut Mihmidaty dalam Amali (2012) Penilaian
ini memberi isyarat pada para pendidik agar dapat melaksanakan penilaian dengan
didukung data yang valid, reliable,
dan menyeluruh sehingga hasil yang diperoleh dari penilaian kelas CTL dapat
memenuhi sasaran untuk mencapai tujuan pendidikan dengan sebaik-baiknya. Dalam
kelas CTL, pada umumnya terdapat empat jenis penilaian autentik,
yakni:portofolio, pengukuran kinerja, proyek, dan jawaban tertulis.
3.
Skenario
Pembelajaran Kontekstual
Menurut Rusman
(2017:323) Sebelum melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran
kontekstual, tentu saja guru terlebih dahulu membuat desain/skenario
pembelajarannya, sebagai pedoman umum sekaligus sebagai alat kontrol dalam pelaksanaannya.
Pada intinya, setiap pengembangan komponen pembelajaran kontekstual tersebut
dalam pembelajaran dapat dilakukan melalui langkah-langkah berikut:
1 . Mengembangkan
pemikiran siswa untuk melakukan kegiatan belajar lebih bermakna dengan apakah
dengan cara kerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkontruksi sendiri pengetahuan
dan keterampilan baru yang harus akan dimilikinya.
2. Melaksanakan
sejauh mungkin kegiatan Inguiry untuk semua topik yang diajarkan.
3. Mengembangkan
sifat ingin tahu siswa melalui memunculkan pertanyaan-pertanyaan.
4. Menciptakan
masyarakat belajar, seperti melalui kegiatan berdiskusi, dan tanya jawab.
5. Menghadirkan
model sebagai contoh pembelajaran, bisa melalui ilustrasi, model bahkan media
sebenarnya.
6. Membiasakan
anak untuk melakukan refleksi dari setiap kegiatan pembelajaran yang telah
dilakukan.
7. Melakukan
penilaian secara objektif, yaitu menilai kemampuan yang sebanrnya pada setiap
siswa
Secara
umum, tidak ada perbedaan mendasar antara format program pembelajaran
konvensional seperti yang biasa dilakukan oleh guru-guru selama ini. Adapun
yang membedakannya, terletak pada penekannanya, dimana pada model konvensional
lebih menekankan pada deskipsi tujuan yang akan dicapai (jelas dan
operasional), sementara program pembelajaran kontekstual lebih menekankan skenario
pembelajarannya, yaitu tahap demi tahap yang dilakukan oleh guru dan siswa
dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.
Oleh karena itu,
program pembelajaran kontekstual (CTL) hendaknya (Rusman,2017:330):
1. Nyatakan kegiatan utama pembelajarannya,
yaitu sebuah pernyataan kegiatan siswa yang merupakan gabungan antara
kompetensi dasar, materi pokok, dan indikator pencapaian hasil belajar.
2. Rumuskan dengan jelas tujuan umum
pembelajarannya.
3. Uraikan secara terperinci media dan
sumber pembelajaran yang akan digunakan untuk mendukung kegiatan pembelajaran
yang diharapkan.
4. Rumuskan skenario tahap demi tahap
kegiatan yang harus dilakukan siswa dalam melakukan prses pembelajarannya,
5. Rumuskan dan lakukan sistem penilaian
dengan menfokuskan pada kemampuan sebenarnya yang dimiliki oleh siswa baik pada
saat berlangsungnya (proses) maupun setelah siswa tersebut selesai belajar.
4. Kelebihan
dan Kekurangan CTL (Contextual
Teaching and Learning)
a. Kelebihan
1)
Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil
Artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap
hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini
sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan
kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara
fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan
tertanam
erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan.
2)
Pembelajaran lebih produktif
Pembelajaran CTL, mampu menumbuhkan penguatan konsep
kepada siswa karena metode pembelajaran CTL menganut aliran konstruktivisme,
yang mengarahkan siswa untuk menemukan pengetahuannya sendiri. Melalui landasan
filosofis konstruktivisme siswa diharapkan dapat belajar melalui mengalami
bukan menghafal
b. Kekurangan
Kekurangan pembelajaran kontekstual diantaranya
adalah orientasi yang melibatkan siswa sehingga guru harus memahami secara
mendasar tentang perbedaan potensi individu tiap-tiap siswa. Pembelajaran ini
pada dasarnya membutuhkan berbagai sarana dan media yang variatif. Untuk
mengatasi kelemahan tersebut maka baik guru maupun siswa perlu melakukan upaya
berikut:
1)
Bagi Guru
Guru harus memiliki kemampuan untuk memahami secara
mendalam tentang konsep pembelajaran itu sendiri, potensi perbedaan individu
siswa dikelas, beberapa pendekatan pembelajaran yang berorientasi kepada
aktivitas siswa dan sarana, media, alat bantu serta kelengkapan pembelajaran
yang menunjang aktivitas siswa dalam belajar.
2)
Bagi Siswa
Diperlukan inisiatif dan kreativitas dalam belajar,
diantaranya: memiliki wawasan pengetahuan yang memadai dari setiap mata
pelajaran, adanya perubahan sikap dalam menghadapi persoalan dan memiliki
tanggung jawab yang tinggi dalam meyelesaikan tugas – tugas.
Penulis menyampaikan pertanyaan kepada pembecMenurut pembaca:
1. Apakah model pembelajaran kolaboratif dan
model kontekstual dapat digunakan secara bersamaan?
2. Ketika
seorang guru ingin menerapkan model pembelajaran kolaboratif dan model kontekstual hal apa saja yang perlu
diperhatikan agar model tersebut dapat terlaksana dengan semestinya?
3. Diantara
kedua model tersebut manakah yang lebih efektif untuk digunakan jika situasi
sarana dan prasarana sekolah yang terbatas?
model pembelajaran kolaboratif dan model kontekstual dapat digunakan secara bersamaan karena model pembelajaran tersebut saling berkaitan, kita tahu bahwa model kontekstual konsep belajarnya membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa, sedangkan model collaborative salah satu strategi pembelejaran yang digunakan untuk meningkatkan hasil belajar.jadi kedua model tersebut saling berkaitan satu sama lain.
BalasHapusTerima Kasih Atas Tanggapannya Sdr. Reri Petra Nanda. Tanggapan anda sangat bermanfaat dan menambah wawasan.
Hapus1. Terimakasih atas ulasan yang telah diberikan, menurut saya pembelajaran kolaboratif dan kontekstual dapat digunakan secara bersamaan karena pada pada saat pembelajaran kolaboratif siswa ditekankan untuk saling bekerja sama sehingga dapat dikaitkan dengan pemebelajaran kontekstual yang menekankan pada situasi dunia nyata siswa kemudian siswa dapat menggabungkan pengalaman yang telah didapatkan di dunia nyata dengan teman sekelompok sehingga bisa saling bekerja sama dan bertukar pendapat.
BalasHapusTerima Kasih Atas Tanggapannya Sdri. Tiara Aprilini. Tanggapan anda sangat bermanfaat dan menambah wawasan.
Hapus2. Assalamualaikum, terima kasih atas uraian yang telah diberikan. Menurut saya yang harus dimiliki seorang guru ketika akan mengimplementasikan model pembelajaran kontekstual dan kolaboratif adalah mampu untuk memahami secara mendalam tentang konsep pembelajaran yang akan diberikan, potensi perbedaan individu siswa dikelas, beberapa pendekatan pembelajaran yang berorientasi kepada aktivitas siswa dan sarana, media, alat bantu serta kelengkapan pembelajaran yang menunjang aktivitas siswa dalam belajar.Sehingga nantinya tujuan pembelajaran tercapai dengan baik dan proses pembelajaran pun akan berjalan dengan lancar
BalasHapusTerima Kasih Atas Tanggapannya Sdri. Rauda Syafitri. Tanggapan anda sangat bermanfaat dan menambah wawasan.
Hapusuraian yang sangat menarik.
BalasHapussaya akan menanggapi pertanyaan sdri.Della yang no.3.
Diantara kedua model tersebut manakah yang lebih efektif untuk digunakan jika situasi sarana dan prasarana sekolah yang terbatas?
-menurut saya, model yang lebih efektif adalah menggunakan model kontekstual, karena model ini adalah model yang mangaitkan materi pelajaran dengan peristiwa dalam kehidupan sehari sehari yang pastinya bersinggungan dengan siswa kehidupan siswa. dengan hal begitu, siswa jadi bisa memahami pelajaran tsb dengan real. contohnya: penerapan hukum momentum, dimana siswa bisa diberi contoh dari kecelakaan lalu lintas antar mobil. lalu siswa ditanya, apa yang terjadi ketika setelah tabrakan itu terjadi? dengan pertanyaan tsb, siswa dipancing untuk berpikir dan mengaitkan peristiwa tsb dengan materi yang telah disampaikan oleh gurunya sebelumnya.
terima kasih.
Terima Kasih Atas Tanggapannya Sdri. Elga Amelia. Tanggapan anda sangat bermanfaat dan menambah wawasan.
Hapusjika menilai tebtunya, model di atas alangkah lebih baiknya jika terdapat sarana dan prasarana. akan tetapi keterbatasan akan menguji kemampuan guru dalam memberikan inovasi terhadap pendidikan tentunya,
BalasHapusmelihat model diatas tentunya model konseptual lebih bisa digunakan untuk mengatasi keterbatasan karna pembelajarannya dapat dilakukan di kondisi nyata. menggunakan alam sekitar sebagai media pembelajaran sebagai salah satu contoh.
Salam
Agung Laksono
Terima Kasih Atas Tanggapannya Sdr. Agung Laksono Tanggapan anda sangat bermanfaat dan menambah wawasan
HapusBu dela, menurut saya kedua model ini sulit di terapkan secara bersama, krn tujuan awal yg ingin dicapai oleh kedua model ini sudah berbeda, model pembelajaran ini dapat diterapkan satu persatu dgn menyesuaikan dgn KD yg ingin dicapai
BalasHapusMenanggapi soal no 2.
BalasHapusMenurut saya yang harus di perhatikan oleh guru, salah satunya yaitu langkah langkah ataupun sintak dari model tersebut, guru harus memahaminya, sehingga dalam penerapannya, bisa berjalan sebagaimana yang di harapkan. Selain itu guru harus memperhatikan hal hal yang berhubungan dan menunjang model tsb, seperti media, pendekatan, metode, dan strategi dalam pembelajaran.