Kamis, 01 Februari 2018

MODEL PEMBELAJARAN KOLABORATIF DAN KONTEKSTUAL

MODEL PEMBELAJARAN KOLABORATIF

1.      Pengertian Model Pembelajaran Kolaboratif
Pembelajaran kolaboratif didefenisikan sebagai falsafah tentang tanggung jawab pribadi dan sikap menghormati sesama. Para pelajar bertanggung jawab atas belajar mereka sendiri dan berusaha menemukan informasi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dihadapkan pada mereka. Guru bertindak sebagai fasilitator, memberikan dukungan tetapi tidak menyetir kelompok kearah hasil yang sudah disiapkan sebelumnya.
Menurut Deutch dalam Mahmudi (2006:61), pembelajaran kolaboratif adalah pembelajaran yang menggunakan kelompok-kelompok kecil siswa yang bekerja sama untuk memaksimalkan hasil belajar mereka. Lebih khusus, Gokhale (1995) mendefinisikan pembelajaran kolaboratif sebagai pembelajaran yang menempatkan siswa dengan latar belakang dan kemampuan yang beragam bekerja bersama dalam suatu kelompok kecil untuk mencapai tujuan akademik bersama. Setiap siswa dalam suatu kelompok bertanggung jawab terhadap sesama anggota kelompok. Dalam pembelajaran kolaboratif, siswa berbagi peran, tugas, dan tanggung jawab guna mencapai kesuksesan bersama.
Pengertian pembelajaran kolaboratif sering disamakan dengan pembelajaran  kooperatif, meski ada juga yang membedakannya. Misalnya, Panitz (1996) mendefinisikan  pembelajaran kooperatif sebagai sekumpulan proses yang dilakuan guru untuk membantu  siswa agar dapat berinteraksi sesamanya untuk mencapai tujuan spesifik tertentu. Hal ini  lebih menempatkan guru sebagai pengarah dan mengontrol pembelajaran daripada  memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkolaborasi (Mahmudi,2006:62)

          2.      Langkah-Langkah Pembelajaran Kolaboratif
Berikut ini langkah-langkah pembelajaran kolaboratif:
1.    Para siswa dalam kelompok menetapkan tujuan belajar dan membagi tugas sendiri-sendiri.
2.    Semua siswa dalam kelompok membaca, berdiskusi, dan menulis.
3.    Kelompok kolaboratif bekerja secara bersinergi mengidentifikasi, mendemontrasikan, meneliti, menganalisis, dan memformulasikan jawaban-jawaban tugas atau masalah dalam LKS atau masalah yang ditemukan sendiri.
4.    Setelah kelompok kolaboratif menyepakati hasil pemecahan masalah, masing-masing siswa menulis laporan sendiri-sendiri secara lengkap.
5.    Guru menunjuk salah satu kelompok secara acak (selanjutnya diupayakan agar semua kelompok dapat giliran ke depan) untuk melakukan presentasi hasil diskusi kelompok kolaboratifnya di depan kelas, siswa pada kelompok lain mengamati, mencermati, membandingkan hasil presentasi tersebut, dan menanggapi. Kegiatan ini dilakukan selama lebih kurang 20-30 menit.
6.    Masing-masing siswa dalam kelompok kolaboratif melakukan elaborasi, inferensi, dan revisi (bila diperlukan) terhadap laporan yang akan dikumpulan.
7.    Laporan masing-masing siswa terhadap tugas-tugas yang telah dikumpulkan, disusun perkelompok kolaboratif.
8.    Laporan siswa dikoreksi, dikomentari, dinilai, dikembalikan pada pertemuan berikutnya, dan didiskusikan.

3. Karakteristik Pembelajaran Kolaboratif
Beberapa karakteristik pembelajaran kolaboratif, yakni: 
1.      Ketergantungan positif
Ketergantungan yang positif antarsiswa dalam suatu kelompok menjadi prasyarat terjadinya kerja sama yang positif. Ketergantungan positif akan terjadi jika setiap anggota kelompok menyadari bahwa seseorang tidak dapat berhasil tanpa melibatkan keberhasilan anggota lainnya.
2.       Interaksi
Interaksi antaranggota kelompok menjadi demikian penting karena terdapat aktivitasaktivitas kognitif penting dan kecakapan interpersonal yang dinamis hanya terjadi jika terdapat interaksi yang dinamis. Aktivitas kognitif dan kecakapan interpersonal yang dinamis itu dapat dicapai melalui berbagai aktivitas seperti mempresentasikan hasil diskusi, berbagi pengetahuan dengan anggota kelompok lain, dan mengecek pemahaman. Adanya interaksi antaranggota kelompok memungkinkan terwujudnya sistem dukungan akademik, yakni setiap anggota mepunyai komitmen untuk membantu anggota kelompok lain.
3.      Pertanggungjawaban individu dan kelompok 
Dalam pembelajaran kolaboratif, tidak hanya keberhasilan kelompok saja yang  menjadi perhatian, namun keberhasilan setiap anggota kelompok sangat dipentingkan. Pembelajaran kolaboratif juga dimaksudkan untuk membuat siswa kuat secara individual. Kelompok harus bertanggung jawab dalam hal pencapaian tujuan dan masing-masing anggota kelompok harus bertanggungjawab terhadap kontribusinya dalam kelompok. Pertanggungjawaban individu hanya akan terjadi jika kinerja tiap individu dinilai dan hasilnya diberikan kembali ke kelompok dan individu yang bersangkutan guna memastikan anggota yang memerlukan bantuan, dukungan, atau penguatan belajar. 
4.      Pengembangan kecakapan interpersonal
Perlu disadari bahwa kecakapan sosial tidak secara spontan tampak ketika pembelajaran kolaboratif dilaksanakan. Kecakapan sosial seperti kepemimpinan (leadership), kemampuan membuat keputusan, membangun kepercayaan, berkomunikasi, dan managemen konflik diharapkan dapat terbetuk melalui pembelajaran kolaboratif yang kontinu dan berkesinambungan.
5.      Pembentukan kelompok heterogen
Pembentukan kelompok dilakukan dengan mempertimbangkan agar setiap anggota dapat berdiskusi sehingga mencapai tujuan mereka dan membangun hubungan kerja yang efektif. Dalam pembentukan kelompok perlu dideskripsikan tugas setiap anggota kelompok. Terdapat beberapa prinsip dalam pembentukan kelompok kolaboratif, di antaranya perlunya mengakomodasi heterogenitas siswa, seperti mengkombinasikan siswa yang pendiam dengan siswa yang relatif mudah berkomunikasi, siswa yang rendah diri dan optimistis, siswa yang mempunyai motivasi tinggi dan rendah diri.
6.      Berbagi pengetahuan antara guru dan siswa
Pada pembelajaran tradisional, diyakini pengetahuan mengalir hanya dari guru ke
siswa. Tidak demikian halnya pada pembelajaran kolaboratif. Dalam pembelajaran
kolaboratif, guru menghargai dan mengembangkan pembelajaran berdasarkan pengetahuan, pengalaman pribadi, strategi, dan budaya yang dibawa siswa.
7.      Berbagi otoritas antara guru dan siswa
Pada pembelajaran tradisional, menetapkan tujuan pembelajaran, mendesain tugastugas belajar, dan menilai (mengevaluasi) apa yang telah dipelajari siswa menjadi otoritas guru secara dominan. Tidak demikian halnya pada pembelajaran kolaboratif. Dalam kelas kolaboratif, guru berbagi oritas dengan siswa dengan cara yang spesifik. Guru melibatkan siswa secara aktif dalam penetapan tujuan belajar, pendesaian tugas-tugas, dan evaluasi ketercapaian tujuan belajar.
8.      Guru sebagai mediator
Dalam pembelajaran kolaboratif, guru berperan sebagai mediator. Dalam hal ini guru
membantu siswa untuk menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa, membantu siswa menggambarkan mengenai apa yang harus dikerjakan ketika mereka mengalami masalah, dan membantu siswa belajar bagaimana belajar (learn how to learn).
4. Evaluasi Pembelajaran Kolaboratif
Tidak mudah untuk mengevaluasi pembelajaran kolaboratif. Evaluasi dapat dilakukan  terhadap banyak aspek, tidak hanya pada hasil belajar kognitif. Sebagai contoh, evaluasi  dapat dilakukan terhadap kemampuan siswa berdikusi. Karena memiliki keterbatasan  pengamatan, guru dapat memilih peer evaluation (penilaian teman sebaya). Setiap siswa  harus menilai teman sekelomponya terhadap beberapa aspek.

         5.      Kelebihan dan Kekurangan Model Kolaboratif
a.      Kelebihan
               Ada banyak keunggulan yang bisa didapat dengan collaborative learning oleh siswa antara lain:
1) melatih rasa peduli, perhatian dan kerelaan untuk berbagi,
2) meningkatkan rasa penghargaan terhadap orang lain,
3) melatih kecerdasan emosional,
4) mengutamakan kepentingan kelompok dibandingkan kepentingan pribadi,
5) mengasah kecerdasan interpersonal,
6) melatih kemampuan bekerja sama, team work,
7) murid tidak malu bertanya kepada temannya sendiri,
8) meningkatkan motivasi dan suasana belajar.
b.      Kelemahan 
Kelemahan  yang dalam collaborative learning:
1. Murid yang lebih pintar, bila belum mengerti tujuan yang sesungguhnya dari proses belajar ini, akan merasa sangat dirugikan karena harus repot-repot membantu temannya.
2. Murid ini juga akan merasa keberatan karena nilai yang ia peroleh ditentukan oleh prestasi atau pencapaian kelompoknya.
3. Bila kerja sama tidak dapat dijalankan dengan baik, maka yang akan bekerja hanyalah beberapa murid yang pintar dan aktif saja.



MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

      1.      Pengertian Pembelajaran Kontekstual (CTL : Contextual Teaching and Learning)
            Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang mengkaitkan materi pembelajaran dengan konteks dunia nyata yang dihadapi siswa sehari-hari baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, alam sekitar dan dunia kerja, sehingga siswa mampu membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran Konstekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni : konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Conzmunity), pemodelan (Modeling), refleksi (reflection), dan penilaian sebenarnya (Aunthentic Assesment) (Darmadi, 2017:341)
Sistem pembelajaran kontekstual adalah proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan jalan menghubungkan mata pelajaran dengan akademik dengan isi kehidupan sehari-hari, yaitu dengan konteks kehidupan pribadi, sosial dan budaya. Pembelajaran kontekstual sebagai suatu model pembelajaran yang memberikan fasilitas kegiatan belajar siswa untuk mencari, mengolah,dan menemukan pengalaman belajar yang bersifat konkret melalui keterlibatan aktivitas siswa dalam mencoba, melakukan, dan mengalami sendiri. Dengan demikian, pembelajaran tidak sekedar dilihat dari sisi produk, akan tetapi yang terpenting adalah proses (Rusman, 2017:322).
Beberapa karakteristik Pembelajaran Berbasis Contextual Teaching and Learning (Sihono,200:80);
a. Kerjasama
b. Saling menunjang
c. Menyenangkan, tidak membosankan
d. Belajar dengan gairah
e. Pembelajaran terintegrasi
f. Menggunakan berbagai sumber
g. Siswa aktif
h. Sharing dengan teman
i. Siswa Kritis, dan Guru Kreatif
j. Dinding kelas & lorong-lorong penuh dengan hasil karya siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor, dan lain sebagainya
k. Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor, tetapi hasil karya siswa, laporan hasil praktikum, karangan siswa, dan sebagainya.

    2.      Komponen Pembelajaran Kontekstual
Ada tujuh komponen utama dalam pembelajaran kontekstual, yaitu:
a.      Constructivism (Konstruktivisme)
Kontrukstivisme merupakan landasan berpikir pendekatan CTL, yaitu pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperkuat melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak tiba-tiba. Dalam konteks pembelajaran, konstruktivisme lebih menekankan pada aktivitas siswa dalam menemukan pemahaman mereka sendiri daripada kemampuan menghafal teori-teori yang ada dalam buku pelajaran saja. Pada umumnya cara menerapkan komponen ini dalam pembelajaran adalah dengan merancang pembelajaran dalam bentuk siswa bekerja, praktik mengerjakan sesuatu, berlatih secara fisik, menulis karangan, menciptakan ide dan lain sebagainya.

b. Inquiry (Menemukan)
Menemukan merupakan bagian inti dari pembelajaran berbasis CTL, artinya proses pembelajaran didasarkan pada pencapaian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Inkuiri merupakan proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman, dalam proses ini siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis untuk memperoleh seperangkat pengetahuan. Untuk merealisasikan komponen inkuiri di kelas, terutama dalam proses perencanaan guru bukanlah mempersiapkan sejumlah materi yang harus dihafal siswa, akan tetapi merancang pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat menemukan sendiri materi yang harus dipahaminya. Siklus inkuiri pada umumnya meliputi: observasi (observation), bertanya (questioning), mengajukan dugaan (hypothesis), pengumpulan data (collecting data), dan penyimpulan (conclusion).

c. Questioning (Bertanya)
Semua ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya. Salah satu faktor psikologi yang mendorong seseorang untuk belajar adalah adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki apa yang ada dalam kehidupan di dunia yang lebih luas. Bertanya merupakan kegiatan yang sangat pokok dan mendasar bagi guru maupun siswa dalam pembelajaran berbasis CTL. Bertanya merupakan kegiatan utama dari semua aktivitas belajar, karena dengan kegiatan bertanya guru dapat memotivasi bahkan bisa menilai sejauh mana keberanian dan kemampuan berpikir seorang siswa dalam mengkonstruk pengetahuan dan pemahaman yang ingin didapatkannya.
Sedangkan bagi siswa kegiatan bertanya adalah hal penting yang perlu dilakukan dalam pembelajaran berbasis CTL, yakni untuk menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan me ngarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya. Kegiatan bertanya merupakan interaksi majemuk (multiple interactions) antara guru dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan siswa, dan antara siswa dengan orang berpengetahuan lainnya. Aktivitas-aktivitas tesebut dapat terlihat jelas pada saat diskusi, kegiatan dalam komunitas/masyarakat belajar, bekerja secara berpasangan (work in pairs or in group), dan lain sebagainya. Dalam pembelajaran, kegiatan questioning memiliki banyak sekali kegunaan diantarnya adalah untuk:
1) menggali informasi, baik yang bersifat administrasi maupun akademis
2) mengecek tingkat pemahaman siswa
3) membangkitkan respon siswa
4) mengukur sejauh mana rasa keingintahuan siswa
5) mengetahui hal-hal yang belum diketahui siswa
6) memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru
7) memberikan stimulus agar siswa bisa memiliki pertanyaan-pertanyaan yang kreatif, menarik dan menantang
8) menyegarkan kembali pengetahuan siswa.

d. Learning Community/Society (Kelompok/Masyarakat belajar)
Leo Semenovich Vygotsky, seorang psikolog Rusia, menyatakan bahwa pengetahuan dan pemahaman anak banyak ditopang oleh komunikasi dengan orang lain. Begitu juga dalam kehidupan, suatu permasalahan tidak mungkin dapat dipecahkan sendiri, tetapi membutuhkan bantuan dan peran orang lain yakni dalam bentuk kerjasama, saling memberi dan menerima. Learning community/society adalah kelompok manusia yang terlibat dalam kegiatan pembelajaran, yang membuat mereka bisa saling bertukar ide dan pengetahuan untuk memperdalam pemahaman terhadap pengetahuan yang mereka miliki. Konsep ini didasarkan pada sebuah gagasan bahwa hasil pembelajaran yang dicapai dengan kerjasama/teamwork akan jauh lebih baik dibandingkan dengan hasil pencapaian individu.
Hasil belajar dalam proses learning community dapat diperoleh dengan cara sharing antar teman, antar kelompok; yang sudah tahu memberi tahu kepada yang belum tahu, yang pernah memiliki pengalaman membagikan pengalamannya pada orang lain, juga melalui informasi yang didapat di ruang kelas, luar kelas, keluarga, serta masyarakat di lingkungan sekitar yang merupakan bagian dari komponen masyarakat belajar. Dalam kelas CTL, learning community terlihat saat siswa belajar secara berkelompok. Pada umumnya siswa dibagi dalam kelompok yang anggotanya heterogen, baik dari segi kemampuan akademisnya, jenis kelamin, asal daerah, dan lain sebagainya.
Model pembelajaran dengan teknik learning community sangat membantu proses pembelajaran di kelas. Praktiknya dalam pembelajaran terwujud dalam (Sihono, 2004:78) :
1) pembentukan kelompok kecil
2) pembentukan kelompok besar
3) mendatangkan ahli, tokoh, olahragawan, dokter, perawat, petani, polisi, tukang kayu, teknisi, dan sebagainya ke kelas
4) bekerja dengan kelas sederajat
5) bekerja kelompok dengan kelas di atasnya
6) bekerja dengan masyarakat.

e. Modelling (Pemodelan)
Modelling atau pemodelan adalah sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, dengan menyediakan model yang bisa diamati dan ditiru oleh setiap siswa. Misalnya: guru fisika memberikan contoh bagaimana cara mengoperasikan sebuah alat, guru bahasa mengajarkan bagaimana cara melafalkan sebuah kalimat asing, guru olahraga memberikan contoh bagaimana cara melempar bola, dan lain sebagianya. Dalam kelas CTL, kegiatan modelling tidak menjadikan guru sebagai satusatunya model dalam belajar, tetapi dapat juga memanfaatkan siswa yang dianggap memiliki kemampuan untuk memperagakan/mendemonstrasikan sesuatu di depan kelas kepada teman-temannya, seorang ahli yang didatangkan di kelas, media belajar dan lain-lain.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, rumitnya permasalahan hidup yang dihadapi, tuntutan siswa yang semakin berkembang dan beraneka ragam, telah berdampak pada kemampuan guru yang memiliki kemampuan lengkap, dan ini yang sulit dipenuhi. Oleh karena itu, maka kini guru bukan lagi satu-satunua sumber belajar bagi siswa, karean dengan segala kelebihan dan keterbatasan yang dimiliki oleh guru akan mengalami hambatan untuk memberikan pelayanan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan siswa yang cukup heterogen. Oleh karena itu, tahap pembuatan model dapat dijadikan alternatif untuk mengembangkan pembelajaran agar siswa bisa memenuhi harapan siswa secara menyeluruh, dan membantu mengatasi keterbatsan yang dimiliki oleh para guru (Rusman, 2017:328).

f. Reflection (Refleksi)
Refleksi berarti upaya think back (berpikir ke belakang) atau kegiatan flash back, yakni berpikir tentang apa yang sudah dilakukan di masa lalu, dan berpikir tentang apa yang baru dipelajari dalam sebuah pembelajaran oleh siswa (Risman,2017: 328). Dalam hal ini siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Dengan kata lain, refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima.

            g. Authentic Assessment (Penilaian Sebenarnya)
Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran pengetahuan perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Gambaran kemajuan belajar siswa, diperlukan sepanjang proses pembelajaran, maka penilaian autentik tidak hanya dilakukan di akhir periode (akhir semester) tetapi dilakukan secara terintegrasi dan secara terus-menerus selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Penilaian yang dilakukan menekankan pada proses pembelajaran, maka data yang terkumpul harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran.
 Menurut Mihmidaty dalam Amali (2012) Penilaian ini memberi isyarat pada para pendidik agar dapat melaksanakan penilaian dengan didukung data yang valid, reliable, dan menyeluruh sehingga hasil yang diperoleh dari penilaian kelas CTL dapat memenuhi sasaran untuk mencapai tujuan pendidikan dengan sebaik-baiknya. Dalam kelas CTL, pada umumnya terdapat empat jenis penilaian autentik, yakni:portofolio, pengukuran kinerja, proyek, dan jawaban tertulis.

    3.      Skenario Pembelajaran Kontekstual
Menurut Rusman (2017:323) Sebelum melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran kontekstual, tentu saja guru terlebih dahulu membuat desain/skenario pembelajarannya, sebagai pedoman umum sekaligus sebagai alat kontrol dalam pelaksanaannya. Pada intinya, setiap pengembangan komponen pembelajaran kontekstual tersebut dalam pembelajaran dapat dilakukan melalui langkah-langkah berikut:
  1 .  Mengembangkan pemikiran siswa untuk melakukan kegiatan belajar lebih bermakna dengan apakah dengan cara kerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkontruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru yang harus akan dimilikinya.
   2. Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan Inguiry untuk semua topik yang diajarkan.
   3. Mengembangkan sifat ingin tahu siswa melalui memunculkan pertanyaan-pertanyaan.
   4.  Menciptakan masyarakat belajar, seperti melalui kegiatan berdiskusi, dan tanya jawab.
  5. Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran, bisa melalui ilustrasi, model bahkan media sebenarnya.
  6.  Membiasakan anak untuk melakukan refleksi dari setiap kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan.
  7.   Melakukan penilaian secara objektif, yaitu menilai kemampuan yang sebanrnya pada setiap siswa
Secara umum, tidak ada perbedaan mendasar antara format program pembelajaran konvensional seperti yang biasa dilakukan oleh guru-guru selama ini. Adapun yang membedakannya, terletak pada penekannanya, dimana pada model konvensional lebih menekankan pada deskipsi tujuan yang akan dicapai (jelas dan operasional), sementara program pembelajaran kontekstual lebih menekankan skenario pembelajarannya, yaitu tahap demi tahap yang dilakukan oleh guru dan siswa dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.
Oleh karena itu, program pembelajaran kontekstual (CTL) hendaknya (Rusman,2017:330):
   1.   Nyatakan kegiatan utama pembelajarannya, yaitu sebuah pernyataan kegiatan siswa yang merupakan gabungan antara kompetensi dasar, materi pokok, dan indikator pencapaian hasil belajar.
   2. Rumuskan dengan jelas tujuan umum pembelajarannya.
  3. Uraikan secara terperinci media dan sumber pembelajaran yang akan digunakan untuk mendukung kegiatan pembelajaran yang diharapkan.
  4. Rumuskan skenario tahap demi tahap kegiatan yang harus dilakukan siswa dalam melakukan prses pembelajarannya,
  5.  Rumuskan dan lakukan sistem penilaian dengan menfokuskan pada kemampuan sebenarnya yang dimiliki oleh siswa baik pada saat berlangsungnya (proses) maupun setelah siswa tersebut selesai belajar.

     4.      Kelebihan dan Kekurangan CTL (Contextual Teaching and Learning)
a. Kelebihan
1) Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil
Artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan
tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan.
2) Pembelajaran lebih produktif
Pembelajaran CTL, mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa karena metode pembelajaran CTL menganut aliran konstruktivisme, yang mengarahkan siswa untuk menemukan pengetahuannya sendiri. Melalui landasan filosofis konstruktivisme siswa diharapkan dapat belajar melalui mengalami bukan menghafal

b. Kekurangan
Kekurangan pembelajaran kontekstual diantaranya adalah orientasi yang melibatkan siswa sehingga guru harus memahami secara mendasar tentang perbedaan potensi individu tiap-tiap siswa. Pembelajaran ini pada dasarnya membutuhkan berbagai sarana dan media yang variatif. Untuk mengatasi kelemahan tersebut maka baik guru maupun siswa perlu melakukan upaya berikut:
1) Bagi Guru
Guru harus memiliki kemampuan untuk memahami secara mendalam tentang konsep pembelajaran itu sendiri, potensi perbedaan individu siswa dikelas, beberapa pendekatan pembelajaran yang berorientasi kepada aktivitas siswa dan sarana, media, alat bantu serta kelengkapan pembelajaran yang menunjang aktivitas siswa dalam belajar.
2) Bagi Siswa
Diperlukan inisiatif dan kreativitas dalam belajar, diantaranya: memiliki wawasan pengetahuan yang memadai dari setiap mata pelajaran, adanya perubahan sikap dalam menghadapi persoalan dan memiliki tanggung jawab yang tinggi dalam meyelesaikan tugas – tugas.
Penulis menyampaikan pertanyaan kepada pembecMenurut pembaca:
  1.   Apakah model pembelajaran kolaboratif dan model kontekstual dapat digunakan secara bersamaan?
  2.  Ketika seorang guru ingin menerapkan model pembelajaran kolaboratif  dan model kontekstual hal apa saja yang perlu diperhatikan agar model tersebut dapat terlaksana dengan semestinya?
  3.  Diantara kedua model tersebut manakah yang lebih efektif untuk digunakan jika situasi sarana dan prasarana sekolah yang terbatas?



12 komentar:

  1. model pembelajaran kolaboratif dan model kontekstual dapat digunakan secara bersamaan karena model pembelajaran tersebut saling berkaitan, kita tahu bahwa model kontekstual konsep belajarnya membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa, sedangkan model collaborative salah satu strategi pembelejaran yang digunakan untuk meningkatkan hasil belajar.jadi kedua model tersebut saling berkaitan satu sama lain.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima Kasih Atas Tanggapannya Sdr. Reri Petra Nanda. Tanggapan anda sangat bermanfaat dan menambah wawasan.

      Hapus
  2. 1. Terimakasih atas ulasan yang telah diberikan, menurut saya pembelajaran kolaboratif dan kontekstual dapat digunakan secara bersamaan karena pada pada saat pembelajaran kolaboratif siswa ditekankan untuk saling bekerja sama sehingga dapat dikaitkan dengan pemebelajaran kontekstual yang menekankan pada situasi dunia nyata siswa kemudian siswa dapat menggabungkan pengalaman yang telah didapatkan di dunia nyata dengan teman sekelompok sehingga bisa saling bekerja sama dan bertukar pendapat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima Kasih Atas Tanggapannya Sdri. Tiara Aprilini. Tanggapan anda sangat bermanfaat dan menambah wawasan.

      Hapus
  3. 2. Assalamualaikum, terima kasih atas uraian yang telah diberikan. Menurut saya yang harus dimiliki seorang guru ketika akan mengimplementasikan model pembelajaran kontekstual dan kolaboratif adalah mampu untuk memahami secara mendalam tentang konsep pembelajaran yang akan diberikan, potensi perbedaan individu siswa dikelas, beberapa pendekatan pembelajaran yang berorientasi kepada aktivitas siswa dan sarana, media, alat bantu serta kelengkapan pembelajaran yang menunjang aktivitas siswa dalam belajar.Sehingga nantinya tujuan pembelajaran tercapai dengan baik dan proses pembelajaran pun akan berjalan dengan lancar

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima Kasih Atas Tanggapannya Sdri. Rauda Syafitri. Tanggapan anda sangat bermanfaat dan menambah wawasan.

      Hapus
  4. uraian yang sangat menarik.
    saya akan menanggapi pertanyaan sdri.Della yang no.3.
    Diantara kedua model tersebut manakah yang lebih efektif untuk digunakan jika situasi sarana dan prasarana sekolah yang terbatas?
    -menurut saya, model yang lebih efektif adalah menggunakan model kontekstual, karena model ini adalah model yang mangaitkan materi pelajaran dengan peristiwa dalam kehidupan sehari sehari yang pastinya bersinggungan dengan siswa kehidupan siswa. dengan hal begitu, siswa jadi bisa memahami pelajaran tsb dengan real. contohnya: penerapan hukum momentum, dimana siswa bisa diberi contoh dari kecelakaan lalu lintas antar mobil. lalu siswa ditanya, apa yang terjadi ketika setelah tabrakan itu terjadi? dengan pertanyaan tsb, siswa dipancing untuk berpikir dan mengaitkan peristiwa tsb dengan materi yang telah disampaikan oleh gurunya sebelumnya.
    terima kasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima Kasih Atas Tanggapannya Sdri. Elga Amelia. Tanggapan anda sangat bermanfaat dan menambah wawasan.

      Hapus
  5. jika menilai tebtunya, model di atas alangkah lebih baiknya jika terdapat sarana dan prasarana. akan tetapi keterbatasan akan menguji kemampuan guru dalam memberikan inovasi terhadap pendidikan tentunya,
    melihat model diatas tentunya model konseptual lebih bisa digunakan untuk mengatasi keterbatasan karna pembelajarannya dapat dilakukan di kondisi nyata. menggunakan alam sekitar sebagai media pembelajaran sebagai salah satu contoh.

    Salam
    Agung Laksono

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima Kasih Atas Tanggapannya Sdr. Agung Laksono Tanggapan anda sangat bermanfaat dan menambah wawasan

      Hapus
  6. Bu dela, menurut saya kedua model ini sulit di terapkan secara bersama, krn tujuan awal yg ingin dicapai oleh kedua model ini sudah berbeda, model pembelajaran ini dapat diterapkan satu persatu dgn menyesuaikan dgn KD yg ingin dicapai

    BalasHapus
  7. Menanggapi soal no 2.

    Menurut saya yang harus di perhatikan oleh guru, salah satunya yaitu langkah langkah ataupun sintak dari model tersebut, guru harus memahaminya, sehingga dalam penerapannya, bisa berjalan sebagaimana yang di harapkan. Selain itu guru harus memperhatikan hal hal yang berhubungan dan menunjang model tsb, seperti media, pendekatan, metode, dan strategi dalam pembelajaran.

    BalasHapus

 

Model dan Evaluasi Pembelajaran Sains Template by Ipietoon Cute Blog Design